Perang Dagang Trump Ancam Ambisi AI Amerika
Perang dagang global yang dipicu oleh Presiden AS Donald Trump awal bulan ini tampaknya belum akan berakhir dalam waktu dekat. Baru-baru ini, China menghentikan ekspor berbagai mineral penting yang menjadi bahan vital dalam pembuatan mobil listrik, drone, hingga chip semikonduktor yang menggerakkan server kecerdasan buatan (AI).
Di saat yang hampir bersamaan, Trump juga mengindikasikan akan segera memberlakukan tarif baru pada chip semikonduktor. Semua ini terjadi ketika AS sedang menjalankan proyek senilai US$500 miliar yang dikenal sebagai “Stargate” untuk mempercepat pengembangan AI di negara tersebut.
Namun, perang dagang yang semakin memanas ini tidak sejalan dengan rencana ambisius AI Amerika. Tarif Trump, yang untuk China kini mencapai 145%, diperkirakan akan merusak rencana ini dengan meningkatkan biaya pengembangan AI dan mengganggu rantai pasokan barang-barang AI.
Hal ini pada gilirannya akan menghambat laju inovasi dan adopsi AI di AS – dan mungkin juga di tempat lain.
Meningkatkan Harga Komponen Esensial
Pengembangan AI membutuhkan daya komputasi yang signifikan dan perangkat keras khusus seperti unit pemrosesan grafis (GPU) kelas atas, yang sebagian besar diproduksi di Taiwan dan Korea Selatan dan sering dirakit di China.
Tarif AS akan langsung menaikkan harga komponen esensial ini. Satu analisis memperkirakan tarif dapat meningkatkan biaya material pembangunan pusat data sekitar 20%, dengan komponen perangkat keras IT berpotensi naik hingga 25%.
Ini menjadi perhatian utama bagi para pemimpin industri AI seperti OpenAI, yang mengoperasikan ChatGPT. Misalnya, CEO perusahaan, Sam Altman, baru-baru ini mengatakan timnya “bekerja sepanjang waktu” untuk menentukan bagaimana perang dagang akan mempengaruhi biaya operasional model AI mereka.
Namun, peningkatan biaya pengembangan AI akibat perang dagang juga berarti startup teknologi di AS akan menghadapi hambatan masuk yang lebih tinggi dan peluang lebih sedikit untuk menguji kemampuan AI. Hal ini pada akhirnya akan merugikan inovasi AI.
Nasionalisme AI yang Agresif
Perang dagang juga menciptakan risiko bagi pengembangan AI internasional. Misalnya, peningkatan biaya akibat tarif dapat menciptakan keengganan untuk berinvestasi dalam infrastruktur AI – terutama pusat data. Perusahaan teknologi lainnya mungkin juga membatalkan atau menunda rencana pembangunan pusat data di AS sebagian karena harga peralatan yang lebih tinggi.
Selain itu, tarif dapat mendorong negara-negara untuk lebih memperkuat upaya AI mereka, menciptakan semacam nasionalisme AI yang agresif. Ini juga dapat mendorong pengembangan AI domestik untuk mempromosikan kepentingan nasional. Hal ini dapat menyebabkan isolasionisme dan mengancam budaya open-source yang pernah mendorong inovasi AI.
Tarif seharusnya mempromosikan industri domestik. Namun, biaya tinggi dan keretakan kerja sama yang sangat penting bagi kelangsungan lanskap AI mungkin menjadi hasil akhirnya.
Dampak Lanjutan bagi Australia
Australia bukan target langsung dari sebagian besar tarif AS. Namun, tarif pada teknologi canggih dan komponen penting menimbulkan risiko bagi kemampuannya untuk mengembangkan AI.
Walaupun Australia berupaya memperkuat kemampuan AI domestiknya, saat ini negara tersebut sangat bergantung pada perangkat keras impor untuk pengembangan AI. Tarif kemungkinan akan membuat perusahaan dan lembaga penelitian Australia lebih mahal untuk memperoleh infrastruktur yang diperlukan, seperti semikonduktor, GPU, dan peralatan komputasi awan. Hal ini pada gilirannya akan berpotensi menghambat kemajuan teknologi mereka.
Seiring AS memperketat perdagangan dan teknologi, Australia mungkin menemukan dirinya terkunci dari proyek penelitian internasional, mungkin yang melibatkan perusahaan atau teknologi AS.
Pembatasan pada berbagi data, bakat AI lintas batas internasional, dan infrastruktur awan berisiko memperlambat laju inovasi.
Untuk mengurangi risiko di atas, Australia harus lebih banyak berinvestasi dalam mengembangkan kapasitas AI domestik dan mendiversifikasi kemitraan teknologinya.
Sumber: The Conversation