JAKARTA — Praktik curang di sektor pangan beras kembali mencuat ke permukaan.
Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi PKB, Abdullah, menyuarakan kemarahannya terhadap temuan mengejutkan: sebanyak 212 merek beras diduga melakukan praktik pengoplosan, yakni mencampur beras kualitas rendah dan menjualnya sebagai produk premium dengan harga tinggi.
Temuan ini dinilai bukan hal baru, melainkan persoalan lama yang sudah berlangsung hampir satu dekade.
Desakan tegas pun dilontarkan oleh Abdullah kepada seluruh aparat penegak hukum. Ia menuntut agar skandal pengoplosan beras ini dibongkar secara menyeluruh dan menyasar seluruh pihak yang terlibat.
“Bongkar tuntas kasus oplosan beras yang merugikan rakyat banyak. Ungkap sindikatnya dari hulu hingga hilir agar tidak terus berulang,” ujarnya, Senin (14/7/2025).
Abdullah menekankan bahwa pembongkaran sindikat ini tidak cukup hanya menindak pelaku lapangan.
Ia meminta agar polisi, kejaksaan, dan lembaga pengawasan lain mengungkap aktor utama, baik individu maupun korporasi, yang diduga menjadi otak di balik manipulasi beras tersebut.
Modus dan Kerugian Besar Harus Diungkap Terang
Lebih lanjut, Abdullah menyoroti perlunya penjelasan detail terkait modus operandi yang digunakan para pelaku. Ia mempertanyakan bagaimana beras oplosan bisa dengan mudah lolos pengawasan dan beredar luas di pasaran.
Penelusuran ini, katanya, harus dibarengi dengan identifikasi pihak-pihak yang paling terdampak.
“Kemudian bagaimana modus pengoplosannya, dan mengapa bisa lolos beredar di pasaran. Lalu siapa saja yang dirugikan dari pengoplosan beras ini dan apa kompensasi yang didapat oleh rakyat yang dirugikan dari kasus ini,” tuturnya.
Legislator dari Daerah Pemilihan Jawa Tengah VI ini juga mendorong penegak hukum untuk menjadikan hasil penyelidikan sebagai landasan kuat dalam proses hukum.
Menurutnya, hal ini penting agar pelaku bisa dituntut sesuai aturan yang berlaku.
Hukuman Berat
Abdullah mendesak pemberian sanksi berat sebagai bentuk efek jera.
Ia menyebut sejumlah regulasi dapat dijadikan dasar hukum untuk menjerat para pelaku, termasuk KUHP, Undang-Undang Pangan, dan Undang-Undang Perlindungan Konsumen.
“Beri sanksi seberat-beratnya untuk para pelaku, misalnya melalui UU KUHP, UU Pangan dan UU Perlindungan Konsumen. Timbulkan efek jera untuk para pelaku,” tegasnya.
Tak hanya menyoroti sisi penegakan hukum, Abdullah juga menyerukan perbaikan menyeluruh dalam sistem pengawasan pangan nasional.
Ia menilai kegagalan pengawasan membuka celah bagi kejahatan pangan terus terjadi.
Menurutnya, negara harus hadir dalam seluruh rantai pasok—dari produksi, distribusi, hingga konsumsi—untuk melindungi rakyat dari manipulasi produsen nakal.
“Jadi maksimalkan pengawasan dari ekosistem produksi, distribusi dan konsumsi beras itu. Kalau tidak, ini akan menggerus kepercayaan rakyat terhadap negara yang seharusnya melindungi mereka dari penjahat pengoplos beras,” ucapnya.
Temuan Mentan: Kerugian Masyarakat Capai Rp100 Triliun
Sebelumnya, Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman membeberkan temuan praktik curang dalam penjualan beras premium.
Ia menyatakan bahwa banyak beras bermutu rendah dikemas layaknya beras premium, bahkan dengan bobot yang dikurangi dari label kemasan.
“Contoh ada volume yang mengatakan 5 kilogram padahal 4,5 kg. Kemudian ada yang 86 persen mengatakan bahwa ini premium, padahal itu adalah beras biasa. Artinya apa? Satu kilo bisa selisih Rp 2.000 sampai Rp 3.000 per kilogram,” ujar Amran, Sabtu (12/7).
Lebih mengejutkan, Amran memperkirakan praktik pengoplosan ini menyebabkan kerugian hingga hampir Rp100 triliun setiap tahunnya.
“Ini kan merugikan masyarakat Indonesia, itu kurang lebih Rp 99 triliun, hampir Rp 100 triliun kira-kira, karena ini terjadi setiap tahun,” jelasnya.
Dengan temuan yang mengkhawatirkan ini, baik dari lembaga legislatif maupun eksekutif, sorotan kini tertuju pada langkah konkret aparat penegak hukum.
Kasus pengoplosan beras bukan hanya soal kecurangan dagang, tetapi juga menyangkut keadilan dan ketahanan pangan nasional.
Tindakan tegas dan perbaikan sistem pengawasan menjadi hal mendesak demi mengembalikan kepercayaan publik dan menjamin hak konsumen di Indonesia.***