web statistic

Dunia Dihantui Ancaman Tarif Baru Trump, Negosiasi Dagang Global Kian Goyah

3 Menit Baca
Presiden AS Donald Trump memicu kegelisahan dagang global dengan ancaman tarif tambahan, mempersulit negosiasi yang sudah berlangsung alot. (Foto: X/@whitehouse)

JAKARTA – Ancaman tarif tambahan dari Presiden AS Donald Trump memicu kepanikan global dalam arena negosiasi dagang. Tarif baru Trump tersebut menjadi ancaman global.

Negara-negara mitra dagang Washington kini bergegas menyusun kesepakatan untuk menghindari pemberlakuan tarif baru Trump yang tinggi dijadwalkan mulai 9 Juli.

Menurut laporan The Straits Times, tekanan dari Gedung Putih mendorong upaya negosiasi bilateral secara masif.

Trump sebelumnya menetapkan masa tenggat 90 hari sejak mengumumkan kebijakan tarif resiprokal pada 8 April lalu.

Meski sejumlah negara sudah menunjukkan komitmen negosiasi, Trump tetap mengancam akan memberlakukan beban tarif tambahan, menciptakan atmosfer penuh ketidakpastian di pasar global.

Menteri Keuangan AS, Scott Bessent, menegaskan bahwa negara-negara yang dianggap kurang kooperatif bisa dikenai kembali tarif yang berlaku sejak 2 April.

“Kami memiliki negara-negara yang bernegosiasi dengan itikad baik, tetapi mereka harus sadar bahwa jika kita tidak bisa mencapai kesepakatan karena mereka keras kepala, maka kita bisa kembali ke tarif 2 April,” kata Bessent.

Negara-negara Asia dan Eropa Kini Was-was

India, Jepang, Korea Selatan, Malaysia, Vietnam, dan Uni Eropa tengah berlomba menyelesaikan kesepakatan bilateral dengan AS.

Mereka berharap bisa menghindari tarif dua digit yang disebut-sebut dapat memukul industri strategis seperti otomotif, baja, hingga teknologi semikonduktor.

Namun, proses negosiasi tak berjalan mulus. Di saat bersamaan, AS juga tengah menyiapkan tarif tambahan untuk sektor-sektor yang diklaim berkaitan dengan keamanan nasional.

Investigasi dari Departemen Perdagangan AS menjadi dasar kebijakan tersebut, dengan fokus pada produk seperti tembaga, kayu, semikonduktor, perangkat elektronik, hingga farmasi.

Jika hasil investigasi menyatakan produk-produk tersebut berdampak pada keamanan nasional, Presiden memiliki wewenang langsung untuk mengenakan tarif.

Kebijakan ini berlandaskan Pasal 232 dari Undang-Undang Ekspansi Perdagangan AS tahun 1962, yang bertujuan memperkuat industri domestik dan mengurangi ketergantungan pada impor strategis.

Negosiasi Diliputi Ketidakpastian dan Sinyal Kontradiktif

Mitra dagang utama AS kini menghadapi dilema. Di satu sisi, mereka mendorong kesepakatan agar bebas dari tarif resiprokal.

Di sisi lain, bayang-bayang tarif keamanan nasional yang tak bisa dinegosiasikan membuat upaya diplomasi mereka seperti bertaruh dalam kabut.

Sejumlah negara bahkan lebih khawatir terhadap kebijakan tarif keamanan nasional dibandingkan tarif dagang biasa.

Tarif ini dianggap lebih diskriminatif karena menyasar sektor penting dengan justifikasi keamanan yang sulit dibantah.

Meskipun beberapa negara mencoba mengajukan pengecualian, sinyal dari Washington tidak seragam.

Sebagian pejabat menyatakan pengecualian nyaris mustahil, namun ada juga yang menyiratkan bahwa pengecualian terbatas mungkin saja diberikan.

Dengan waktu yang semakin menipis menuju 9 Juli, dunia dagang internasional memasuki fase siaga penuh.

Tidak ada negara yang berani mengambil risiko komitmen jangka panjang sebelum mendapat kejelasan posisi final AS.

Ketidakpastian inilah yang membuat pasar global resah dan ekonomi dunia dalam posisi rawan.***

Share This Article